Minggu, 04 Oktober 2009

Cerpen Romansa di Tebing Pelangi by Misfah khairina

Meira meluncur menuruni Tebing Pelangi yang terjal. Kadang ia meliuk dengan anggunnya menghindari bebatuan. Rambutnya yang dicat brunet riap-riap disela helm penutup kepalanya. Sepeda gunungnya menari dengan indah hingga kedua rodanya mendarat dengan sempurna diatas lembutnya pasir Pantai Bidadari. Beberapa anak singkong seru menyalaminya.
“Hai! Halo teman-teman!” Meira menyapa segerombolan cowok-owok yang sengaja datang dari kota naik jeep.
“Sorry, Ra! Aku ngga bilang-bilang pengen liat kamu latihan.” Ujar salah seorang dari mereka yang bernama Gery spontan memeluk Meira, diciumnya kedua belah pipi Meira.
“Thanks ya!” kata Meira manja. Sesekali bibir mungilnya berbisik ditelinga Gery seraya tertawa geli.
“Ini tho teman-temanmu? Udah pada makan belum?” Meira berbasa-basi.
“Sebenarnya kita lapar, tapi kita harus balik setengah jam lagi. Biasa syuting.” Sahut salah seorang teman-teman Gery.
“Kamu pulang ikut kami atau gimana?” Tanya Gery lagi.
“Meira, Mas Ito bilang kamu harus mengulang latihan dua kali lagi.” Sebuahsuara seolah menjawab pertanyaan Gery. Bukan dari mulut Meira. Elgar? Meira menggeleng kesal. Seniornya itu mengacau lagi.
“Aku tahu, kok! Ngga usah pake dibilangin segala.” Desisnya.
“Sorry Ger, teman-teman. Aku masih latihan. Sorean aku balik.”
“Kalau gitu ntar malam, aku jemput yaa, ketempat biasa..” Gery mengerdipkan sebelah matanya.
“Daagg!”
Lambai Meira hampa. Cowok-cowok itupun melompat ke dalam jeep yang s edari tadi menunggu mereka. Asap tebalpun mengotori udara pantai yang masih bersih.
Meira mengangkat sepeda gunungnya ke atas bahunya. Tergesa ia berjalan mendului Elgar menaiki Tebing Pelangi. Ia tahu Elgar akan menyusulnya dengan segala kata-katanya yang sudah basi.
“Kamu harus focus, Ra. Kejuaraan dunia di Austali sudah sangat dekat. Kamu memang juara nasional. Tapi di Australi kamu bukan siapa-siapa.”
Meira menghentikan langkahnya. Ia berbalik dengan tatapan tajam, sekujur tubuhnya terasa makin pegal mendengar khotbah Elgar.
“Tahu ngga, omongan Kak Elgar ditelinga Meira seperti omongan nenek-nenek yang kurang kerjaan. Meira tahu, Meira atlet debutan. Tidak seperti Kak Elgar yang sudah memenangkan berpuluh-puluh kejuaraan dalam maupun luar negeri. Tapi tak bisakah Meira menikmati sedikit waktu luang Meira untuk bersenang-senang?”
Elgar terdiam mendengar sumpah serapah dari bibir mungil itu. Tak biasanya Meira begitu garang menghadapinya. Biasanya, paling-paling ia tergelak jahil seraya merayunya dengan kemanjaan gadis 17 tahun. Apakah ini karena Gery, bintang sinetron itu? Cowok itu telah merubah Meira seketika. Sebelum Elgar kembali berkata-kata. Meira menduluinya.
“Perlu Kak Elgar tahu. Kak Elgar telah mempermalukan Meira di depan Gery dan teman-temannya, Sadar ngga apa yang telah kakak lakukan?”
“Aku hanya mengingatkan.”
“Sudahlah! Aku mau latihan. Aku malas ngomong sama Kak Elgar lagi.”
Meira menuruni tebing lebih dahulu, menyisakan sesak di dada Elgar. Ia menyusul Meira belakangan. Perlahan. Setiap batu-batu meghalangi roda-roda sepeda gunungya mengguncang tubuhnya. Terasa ngilu, hingga ke ulu hatinya. Mati-matian ia meyakinkan Mas Ito untuk mengikutkan Meira ke kejuaraan di Australi. Meira membalasnya dengan menyepelekan program latihan. Malah lebih banyak menghabiskan waktunya dengan pemain sinetron itu.
Ooo
Perlahan Meira menghirup Fruit Punchnya. Malam kian larut dan dingin. Rasa capeknya hilang seketika saat ia bersama Gery. Ia bisa tertawa lagi. Apalgi keriangan Retro Club menulari setiap pengunjungnya.
Meira mengenakan Jeans hipster dipadukan blus halter berwarna biru turquish dengan frill yang manis menghiasi pinggangnya yang ramping. Tak ada lagi Meira si atlet sepeda gunung dengan baju sportnya,berpeluh dan berdebu. Apalagi malam itu Meira tak segan bereksperimen dengan lipstick dan eye shadow yang baru dibelinya. Siapapun yang melihatnya malam itu sadar atau tidak dibuat kagum akan kecantikannya.
Gery menggenggam tangannya. Menatap Meira dengan mata indahnya yang dalam.
“Tahu ngga, Cowok-cowok disini pada menoleh ke kamu. Daripada keduluan, mending aku yang bilang. Aku sayang kamu Meira.”
“Benar nih, ini bukan teks naskah sinetron yang bakal kamu peranin.” Goda Meira tak percaya.
“Nasib jadi pemain sinetron. Aku serius dibilang acting.” Sungut Gery.
“Benar kamu sayang aku?”
Gery tidak menyahut. Ia menyorongkan wajahnya ingin mecium Meira. Saat itu juga beberapa lampu kamera wartawan infotainment menyorot wajah mereka. Meira jengah. Gery langsung jaga imej. Beberapa pertanyaan langsung meluncur dari mulut kuli tinta itu.
“Pacar baru nih, Ger? Kenalin kita dong?”
“Kenalnya dimana?”
“Rasa-rasanya aku kenal pacar barumu. Atlet ya, atlet sepeda gunung?”
“Meira!”
Gery menarik tangan Meira mejauh dari kerumunan itu. Gery berusaha melindungi Meira dari berondongan pertanyaan. Tapi ia tidak berdaya. Setelah main kucing-kucingan, mereka akhirnya berhasil keluar dari kepungan wartawan. Gery memohon pada Meira dengan wajah penuh penyesalan.
“Maafin aku yaa,Mei! Beginilah kehidupanku. Mau tak mau kamu jadi keikut juga. Kamu maukan memaafkan aku atas ketidak nyamaan ini.”
Meira mengangguk pasrah. Walau hatinya jengkel, tapi ada sedikit kegembiraan di wajahnya. Besok public akan tahu, ialah cewek yang dekat dengan Gery. Pemain sinetron ganteng yang digilai cewek-cewek seluruh Indonesia.
Ooo
“Mabuk popularitas!” gumam Elgar,”Nih, kau lihat semua tabloid infotainment memuat foto kamu dan Gery.” Suara nya terdengar ketus.
Meira tak heran dengan sambutan Elgar atas pemberitaan tentang dirinya dan Gery. Malam sepulangnya dari Retro, Gery mengantar Meira pulang. Meira mendapati wajah kaku Elgar di depan pintu asrama. Seperti satpam, Elgar menyindirnya,”Tak baik atlet pulag larut malam.”
Elgar menyemai benih-benih kebencian dihatinya. Apa yang salah dengan pemberitaan itu. Toh, dia bukan seorang koruptor atau perebut istri orang. Bukankah seharusnya ia bangga diberitakan dekat degan Gery. Siapa sih yang menolak dekat dengan bintang sinetron yang sedang naik daun itu. Meira memandangi photo-photo dirinya yang dimuat di berbagai media massa.
“Pasangan serasi”, Meira tersenyum simpul seraya mendelik pada Elgar disebelahnya. Cowok itu membuang muka. Elgar tak sanggup menatap photo-photo mesra itu. Darahnya menggelegak. Perih untuk dijelaskan.
“Kejuaraan di Australi tinggal sebulan lagi. Dengan persiapan minim seperti ini aku pesimis kamu akan memenangkan kejuaraan itu. “ Elgar kembali memperingatkan,”Kami semua berlatih keras. Kamu hampir setiap malam dugem. Atlet macam apa kamu.”
“Kak Elgar, dengar! Meira masih muda. Kadang Meira bosan dengan jadwal latihan yang seolah tiada habisnya. Meira masih 17 tahun. Meira ingin menikmati indahnya masa remaja, Kak. Tak bisakah Kak Elgar bahagia dengan kebahagiaan Meira.”
“Bagaimana aku bahagia, kalau Meira yang dulu kukenal telah berubah. Ingat Meira, kamu itu atlet berbakat. Please jangan hancurin karirmu hanya karena masalah beginian.”Masalah? Masalah apa? Siapa yang hancurin karirku?”
“Tapi Gery….”
“Kenapa Gery?”
Hp Meira berdering, suara Meira berubah riang saat mendengar suara yang menilponnya.
“Gery, kamu baik banget, sempat-sempatin kemari.! Aku masih di pantai Bidadari, sebentar lagi sunset lho”
Gery! Rahang Elgar menggemertak. Elgar merasakan nyeri, marah dan kuatir jadi satu. Perlahan ia beringsut mendaki Tebing Pelangi hingga puncaknya . Ditengah kesendiriannya, Elgar menatap nanar sepsang kekasih yang sedang bermesraan di Pantai Biadadari. Lngkung pelangi di atas kepalanya tak dapat ia resapi keindahannya. Sepi dan getir menyelimuti tubuhnya yang dingin oleh derasnya angin lautan.
Ooo
Wajah Meira sumringah, setelah berbulan-bulan di asrama pemusatan latihan , akhirnya ia dapat pulang ke rumah dua hari. Kedua orang tuanya menyambutnya hangat. Makanan kesukaannya terhidang di atas meja. Bercengkrama ria dengan keluarga seperti waktu ia kecil dulu. Meira agak sdikit lega , ia terbebas dari Elgar untuk dua hari, walau ada yang sedikit mengganjal. Ia juga jauh dari Gery. Ia rindu cowok trendy itu. Sedang apa dia disana. Tangan Meira tak lepas dari Hp. Setiap setiap waktu ia ingin berbicara dengan Gery. Namun kerinduannya ternoda saat ia membuka TV sore hari, sebuah berita infotainment mengejutkannya. Gery dengan seorang wanita cantik pemain sinetron pendatang baru.
“Gery terlibat cinta lokasi.” Narasi berita itu.
Gery tertawa-tawa,”Cinlok? Masak sih?”
Cewek, pemain sinetron itupun menimpali.
“Ngga tahu deh, kita liat kedepannya aja.”
Merekapun bergaya mesra di depan kamera.
Malamnya Meira tidak bisa tidur. Ia pulang ke asrama lebih cepat. Dikontaknya Gery untuk ketemuan.
“Emang benar berita itu,Ger?”
Meira meminta konfirmasi. Lagi-lagi Gery tertawa sambil mengendikkan bahu,”Kala u benar kenapa, kalau ngga kenapa?” katanya santai.
“Aku sama Meira tuh deket tapi ngga pacaran. Aku emang dekat sama semua orang , tapi bukan berarti pacaran kan?”
Meira merobek-robek tabloit itu hingga menjadi serpihan kecil. Jadi selama ini? Meira malu. Malu dengan kege-erannya. Apalagi berkali-kali wartawan-wartawan gossip itu mengejar-ngejarnya, mengorek-ngorek lukahatinya. Gery dengan wajah tak berdosanya memamerkan cewek barunya di layar kaca. Cewek cantik sesama pemain sinetron.
“Ini cewek aku yang bener. Yang lain-lain itu gossip.” Tukasnya menyakitkan.
Meira menggenggam stang sepedanya kuat-kuat. Ternyata ia hanya membuang waktunya yang berharga untuk suatu hubungan yang tidak jelas.
Meira meluncur deras menuruni tebing. Dengan kecepatan seperti itu.Ia bisa meliwati rekor tercepatnya. Gery sialan! Kutuknya. Meira lengah sepersekian detik u roda depannya terantuk batu yang tidak begitu besar. Meira dan sepedanya oleng, jatuh terjungkal. Meira terguling-guling di lereng yang curam. Lamat-lamat Sunset ke emasan tertangkap retina matanya sebelum gelap menyergapnya.
Ooo
Meira terbangun di sebuah kamar rumah sakit. Kepalanya pening, sekujur tubuhnya terasa sulit digerakkan. Apalagi tangan kirinnya, Arrrggghhh!
“Jangan banyak bergerak dulu. Tangan kirimu patah. Asal kamu patuh sama nasihat dokter, ngga lama pulih kok.” Hibur ibu.
“Kamu dua hari tidak sadar. Geger otak ringan. Syukurlah kamu selamat.” Tambah Bapak.
Meira menebarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ada bunga dan kartu ucapan.
“Bunga ini dari Elgar. Ia yang menghubungi kami waktu terjatuh. Kata Ito, Elgar juga yang pertama kali yang menolongmu.” Cerita Bapak.
“Selama kamu tidak sadar, Elgar setiap hari menunggui kamu. Wajahnya sedih sekali.” Tambah Ibu.
“Dimana Elgar sekarang Bu?” Meira tergeragap.
“Elgar sekarang sedang bertanding di Australi.”
Meira terdiam, perlahan bulir-bulir air matanya mengalir tanpa sanggup ia hentikan. Penyesalan dan kesedihan menggumpal di dadanya. Sesal ia gagal bertanding di kancah internasional, sedih karena orang yang pantasnya mendapat terima kasih darinya berada nun jauh di Australi sana.
Ooo
Elgar memutar pedal sepeda gunungnya kuat-kuat. Sesekali ia berteriak saat dapat meliwati medan yang sulit. Ia merasa bersemangat. Latihannya kali ini tak terasa melelahkan. Masih terngiang ditelinganya percakapan telepon jarak jauhanya dengan Meira , sewaktu ia bertanding di Australi.
“Selamat ya atas peraknya. Kamu atlet sepeda gunung terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.”
“Meira….!!!” Elgar terbangun ia tak yakin akan kesadarannya. Mungkin dia bermimpi.
“Masih mimpi? Aku ada ngga dimimpi itu”
“Kamu …yang seharusnya memenangkan kejuaraan ini.”
“Sudahlah, walaupun aku tidak memenangkan kejuaraan disitu, tapi..kamu telah memenangkan hatiku…”
“Apa…apa…telingaku agak berdenging…nih! Baru bangun tidur..sih!”
“Udah deh, pemenangnya didiskualifikasi aja…”
“Meira, tunggu…A…a..aku sayang kamu…”
“Hah! “
“Aku bisa memenangkan kejuaraan dimana saja, tapi memenangkan hatimu adalah sesuatu yang terindah dalam hidupku.”
“Kak…aku juga sayang Kak Elgar.
“Sorry ya aku duluarn!” Meira mengejutkannya.
“Meira, awas kamu ya! Aku susul balik!”
Meira meluncur lebih cepat. Tubuh mungilnya terguncang-guncang. Disebuah tikungan Elgar kembali dapat mengejar nya.
“Ayo…ayo….kayuh yang cepat, lelet!” ejek Elgar, ia dapat mengambil alih di depan. Beberapa meter lagi dari Pantai Bidadari Meira berhasil menyusul. Stang sepeda mereka berbenturan. Meira sampai dengan mulus di Pasir Pantai Bidadari, Sial bagi Elgar, tak dinyana ia tak bisa menguasai keseimbangan sepedanya. Ia ambrug bersama-sama dengan sepedanya.
“Kak Elgar!” jerit Meira. Tubuh cowok itu tergeletak diatas pasir, tak bergerak. Matanya terpejam.
“Ya Tuhan! Kak Elgar bangun.” Suara Meira terdengar panic, “Kak bangun, Kak.” Meira nyaris menangis.
“Kena Wekkk!” kejut Elgar bangkit dengan tawa khasnya.
“Sialan Kak Elgar jelek! Kak Elgar jahat!” Meira memukul dada Elgar sebal. Elgar menangkap tangan Meira. Mereka bersitatap dalam diam. Lengkung Pelangi memayungi mereka. Senja terasa begitu indah saat itu.
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih buat teman-teman yang sudah berkomentar