Senin, 28 September 2009

cerpen : Kutunggu di Shimokitazawa by Misfah Khairina

KUTUNGGU DI SHIMOKITAZAWA

OLEH

MISFAH KHAIRINA

Lampu-lampu sudah dinyalakan. Layar bioskop mungil berpenonton maksimal 20 orang itu sebentar lagi ditutup. Namun Café yang tak kalah mungilnya disebelah bioskop itu masih menyisakan kehidupan. Pengunjung terakhir Bioskop Shimokitazawa keluar dari pinu samping sambil berangkulan dan berbisik-bisik mesra. Mungkin masih terkesan dengan film romantis yang baru saja mereka tonton.

“Dasar anak muda!” gerutu tuan Hiroshi, lelaki berwajah tirus itu pemilik sekaligus pegawai bioskop dan café itu selama 30 tahun!

Sepasang anak muda usia belasan tahun itu menyeruak masuk ke dalam Café, memesan Ocha hangat dan Takomiyaki.

Ini bukan kunjungan pertama mereka. Wajah Tuan Hiroshi tak asing lagi bagi mereka. Tak lama kemudian mereka bertiga sudah terlibat dalam obrolan ringan.

“Tahukah kalian, dulu ada seorang pelanggan Bioskop Shimokitazawa bernama Tuan Keitaro. Umurnya kurang lebih seusia denganku. Keitaro menjadi pengunjung tetap Shimokitazawa. Sejak ia masih muda. Keitaro muda datang ke bioskop tidak sendiri. Dia selalu datang degan kekasihnya Kinanti. Seorang gadis Indonesia yang cantik jelita.”

“Mereka menikah dan hidup bahagia selamanya.” Anak laki-laki bernama Aidan itu tertawa. Bukan kebetulan ia juga orang Indonesia. Ia terdampar di negeri Oshin itu sebagai utusan negaranya dalam program pertukaran pelajar antar Negara.

“Haruskah cerita ini kuteruskan?” Tanya Tuan Hiroshi.

“Teruskan! Teruskan, Tuan Hiroshi!” seru Kyoko kekasih Aidan yang blasteran Jepang-Philippines antusias. Matanya yang indah berkedap-kedip menanti kalimat yang akan diucapkan Tuan Hiroshi berikutnya.

“Dia memang selalu tertarik dengan cerita-cerita romantis!” goda Aidan lagi.

“Aidan!” sungut Kyoko seolah menyuruh kekasihnya itu diam.

“Seorang lelaki tua yang malang!” Tuan Hiroshi menghembuskan nafas beratnya, Kinanti yang sangat dicintainya, pergi meniggalkannya di Bioskop Shimokitazawa. Ia berbisik denganku dengan berlinang air mata.

Ia mencintai Keitaro tapi ia akan dinikahkan orang tuanya di Indonesia. Setiap saat aku ingin mengucapkan kata-kata terakhir yang dikatakan Kinanti pada Tuan Keitaro, setiap kali itu juga lidahku menjadi kelu. Tuan Keitaro terus mengunjungi Shaimokitazawa berharap kekasih hatinya kembali. Namun Kinanti tidak pernah kembali. Beberapa kali pula ia mengunjungi Indonesia tapi ia kembali dengan hampa. Sampai suatu malam di puncak musim dingin yang membeku, Tuan Keitaro datang dengan gontai tapi bibir tuanya tersenyum. Dia bilang padaku, kalau hari itu akan datang. Kupikir dia sudah gila. Ketika film sudah berakhir , semua penonton sudah meninggalkan Shimokitazawa, tinggal Tuan Keitaro duduk menatap layar dalam diam. Kutepuk punggungnya, dia tidak bergeming. Kupanggil namanya, ia tak menyahut. Tak bergerak dan tak bersuara. Kuraba tangannya, dingin seperti salju diluar. Tahulah aku dia pergi untuk selama-lamanya. Ia pergi dengan tersenyum. Ia telah bertemu dengan kekasihnya.”

Aidan menyeka bulir-bulir bening disudut mata Kyoko. Hati gadis Jepang itu mudah tersentuh dengan cerita mustahil sekalipun. Aidan menggenggam jemarinya,m emberi nya kekuatan.

“Cerita yang sangat romantis.” Kyoko mencoba tersenyum.

“Kalau kamu meninggalkanku disini, aku tak akan segila Tuan Keitaro. Aku akan bertemu gadis lain, jatuh cinta dengannya.” Aidan mencoba bercanda, sepertinya usahanya gagal. Mata Kyoko membulat

“OK…..OK, aku akan menunggu hingga kulitku keriput dan jenggotku memutih.”

”Aidan, kamu lucu!” kyoko memukul bahu Aidan manja. Tawa merdunya terdengar nyaring, namun jauh didasar hatinya ada ketakutan, cerita Tuan Hiroshi seolah menyadarkannya akan kehadiran Aidan dan cintanya.

”Aidan pria asing. Dia akan pulang kenegaranya dan melupakanmu.” Ken memperingatkan Kyoko. Kyoko pikir Ken hanya cemburu karena Kyoko telah memilih Aidan, anak baru dari negeri asing daripada Ken yang telah mengenlinya sejak kanak-kanak.

”Apa kau tak belajar pada apa yang menimpa ibumu? Merana dan menderita ditinggal pergi suami yang dicintainya pulang ke Philippina?”

”Ken, cukup!” Tangan Kyoko terangkat ke udara. Nyaris ia melayangkan tangannya ke wajah Ken. Begitu muak ia mendengar kata demi kata yang Ken ucapkan.

”Kyoko, apa yang kau pikirkan?” kejut Aidan berusaha mencari jawaban dimanik mata Kyoko yang resah.

”Aidan , kau sungguh-sungguh mencintaiku?”

”Perlukah kata-kata itu kuucapkan?”

Kyoko menatap Aidan penuh pengharapan.

”Baiklah, aku mencintaimu Kyoko.” bisiknya lembut,”Sangat mencintaimu.”

Angin malam di Tokyo sanggup membuat Aidan menggigil, namun tatapan Kyoko membuatnya hangat, menyelusup hingga kerelung hatinya.

Mereka berpisah malam itu di depan pintu apartemen Kyoko.Sepeninggal Aidan, Kyoko mendapati Okasan tergopoh-gopoh mendatanginya dengan wajah pucat. Ia berusaha berkata-kata. Suaranya tidak begitu jelas, ”Kyo-chan, Shin....Shinobu meninggal! Bunuh diri!”

”Apa! Shinobu bunuh diri!” jerit Kyoko tak percaya! Lututnya terasa lemas seketika.

”Ibunya baru saja memberi tahukan.”

Kyoko terduduk dengan pandangan kosong.

”Kyo-chan, pagi tadi sebelum ditemukan bunuh dri, Shinobu kemari. Dia meitipkan ini.” Okasan megangsurkan sebuah surat dengan tangan gemetar.

Kyoko membaca surat Shinobu dengan kerongkongan seakan tercekat.

Kyoko sahabatku

Aku mencoba mencarimu. Tapi kau tak juga kutemukan. Kutulis surat ini dengan hati hancur. Tak ada guna lagi hidup ini. Mike meninggalkanku.

Dia kembali ke Amerika, kukira ia punya pacar baru. Hidupku berakhir bersama kepergiannya. Kukira punya pacar orang asing adalah kebanggaan, ternyata aku salah. Kuharap kamu menyadarinya, sebelum terlambat. Aidan hanya bayang-bayang Kyoko. Dia semu. Kenlah kenyataan. Putuskan sebelum kamu terluka lebih dalam seperti diriku.

Sahabatmu

Shinobu

ooo

Pendar-pendar sinar matahari senja masih tersisa diawal musim gugur. Anginnya terasa menggigit. Kyoko merapatka tubuhnya kelengan Aidan yang kokoh. Daun-daun pepohonan yang mula menguning memberi sensasi tersendiri dihati Kyoko sekaligus kesedihan. Kesedihan yang sulit ia terjemahkan. Dengan sudut matanya ditelusurinya setiap lekuk wajah berkulit sawo matang itu, seolah ia berusaha merekam sosok terkasih dalam benaknya hingga tak mungkin terhapus oleh waktu.

Mereka tiba di Shimokitazawa sesaat film akan diputar. Tuan Hiroshi menyambut mereka ramah,”Kusisakan dua kursi paling belakang untuk kalian.” katanya sambil tersenyum penuh arti.

Aidan begitu menikmati film yang diputar. Kyoko tidak. Nampaknya ia menonton film yang ada dalam pikirannya sendiri. Ditengah-tengah pertunjukkan Kyoko berdiri,”Aku mau ke restroom.” bisiknya pada Aidan, seraya mengecup lembut kening kekasihnya.

Kaki Kyoko seolah bermagnet. Setiap kali ia melangkah, sepatunya seolah lengket ke lantai, dengan susah payah ia menemukan pintu keluar. Cuaca musim gugur yang tak menentu menyergapnya. Menenggelamkannya dalam kebekuan. Ingin ia berbalik kedalam Shimokitazawa, mendamba kehangatan cinta Aidan.

”Kyoko!” seru sebuah suara. Tuan Hiroshimenangkap bayangannya. Kyoko tak menyahut. Ia pergi tanpa suara hanya deraian air matanya menjelakan lebih dari sekedar kata-kata.

Ketika seorang lelaki muda bernama Aidan keluar dari Shimokitazawa kebingungan, berteriak-teriak memanggil Kyoko. Tuan Hiroshi menjawab dengan dingin dan lirih,”Dia sudah pergi!”

Ooo

Tiga tahun kemudian.

Aidan bukan lagi siswa SMU yang sedang menjalani pertukaran pelajar ke Jepang. Ia sudah mahasiswa kii. Ia kembali mendapatkan kesempatan ke Jepang setelah memenangkan full scholarship di Universitas Tokyo.

Kembali ke Tokyo, seakan kebali pada kenangannya tentang Shimokitazawa. Semakin ia menghindari tempat itu, semakin kuat hasratnya pergi kesana.

Shimokitazawa adalah kenangan sekaligus kesedihan baginya. Hingga disuatu malam Aidan menguatkan hatinya menyusuri jalan yang sangat dikenalnya. Menuju suatu tempat bernama Shimokitazawa, dimana cintanya bersemi, disitu pula cintanya layu.spotlight, masih sama. Tapi gedung itu, Shimokitazawa? Aidan menajamkan matanya, memastikan penglihatannya tidak salah. Tak ada gedung tua, bioskop yang tempat karaoke. Aidan terduduk sembari mengusap wajahnya. Ia merasakan dirinya seperti Tuan Keitaro yang menunggu kekasihnya di Shimokitazawa, namun bangunan itu sudah runtuh begitu pula cintanya, terkubur bersamanya. Aidan berjalan dengan gontai meninggalkan tempat itu dengan perasaan hampa. Tanpadisadarinya, sepasang mata menatapnya sedih. Seorang pemuda Jepang menarik tangannya menjauh dari tempat itu, ”Kyoko, cepat kita pergi dari sini!”

Tamat