Minggu, 23 Mei 2010

Cerpen : Pangeran Alam by Misfah Khairina


PANGERAN ALAM
BY
MISFAH KHAIRINA

Blue Longue, tempat ternyamanku. Sebagai anggota homeband longue unik yang semua pengunjungnya seniman. Dandananku yang vintage gothic tidak begitu kentara disini, selesai manggung aku biasanya kongkow-kongkow dengan teman-temanku sesama musikus, menulis aransemen, atau hanya sekedar bermimpi demo band kami diterima major label, atau cukup berpuas diri dengan indie label modal salah seorang sahabat pelanggan Blue Longue juga, hmm…semangat kemudaanku meluap-luap disini selantang nyayianku tentang hutan yang kembali hijau dan langit biru yang kurindukan diiringi irama folkrock yang menghentak.
Malam itu semua nyanyianku tentang alam seolah termanifestasi didalam ruang biru yang tak begitu luas itu, semuanya tersaji begitu rupa sejak pintu kaca itu terkuak. Lekuk tubuhnya, cara berjalannya, rambutnya, dia “Pangeran Alamku”. Aku terhenyak sesaat membuat syair-syair laguku berterbangan diudara, dan susah kuraih kembali menjadi untaian lagu yang utuh.
Setelah music berhenti aku seolah disadarkan dari mimpi sejenak pengembaraan singkat kealam nirwana. Gerutuan-gerutuan dan gumaman kekesalan tertuju padaku. Aku masih berada didunia ini di ruangan biru, Blue Longue. Dan si mata murung, “Pangeran Alamku”, seakan tak perduli keberadaanku ditengah-tengah panggung. Dia tak perduli pikiranku menari-nari oleh kehadirannya. Didepan latop disudut ruang biru dia seolah memiliki dunianya sendiri. Aku tidak bisa menahan hasratku mengungkap dunia misteriusnya. Tak pernah aku seperti ini, seperti Sherlock Holmes yang mencium sesuatu. Aku ingin tahu begitu ingin tahu misteri dibalik mata murungnya.
“Pengunjung baru.” Kata Lusi, waiter sahabatku,”Seorang penulis. Sudahlah, Say! Dia tidak berniat tebar pesona disini”
“Tapi seorang penulis, pasti butuh inspirasi.” Kataku percaya diri.
“Lodi…Lodi….rasa-rasanya bukan kamu deh inspirasinya.” Lusi terkekeh. Aku merengut dan mulai meraih gitarku. Memainkan seenak hatiku. Beberapa pengunjung agak terganggu dengan ulahku, “Pangeran Alam” melihatku dari sudut mata murungnya yang seperti telaga yang dalam. Hanya beberapa detik. Membuat nafasku tertahan. Ia seolah teringat sesuatu dan memastikan ia belum terlambat, handphonenya mengingatkan. Sosoknya menghilang dikeabadian malam. Menyisakan sepi. Disini. Dihati ini.
Ooo

Sungai-sungai tersumbat
Oleh jiwa-jiwa kotor para koruptor
Biarkanlah kebenaran bagai air bah yang menerjang
Menerjang
Mengikis
Hingga air bening nurani mengalir kembali
Disungai-sungai negeriku yang permai
Kuberikan penampilan terbaikku. Sambutan penonton yang meriah hadiah yang tak terperi bagi seniman amatir sepertiku. Tapi ah…andai Pangeran Alam sedikit saja mendengarkan nyanyianku, suaraku, musikku. Dirinya sama sekali tidak tergugah sedikitpun olehku. Kau berhasil membuatku mendamba perhatianmu. Tapi kau terlalu kikir untuk berbagi dengan latop sialanmu. Tak ada cara lain, selain menyingkirkan “kekasih hatinya” itu, dan ia harus melihatku ada. Seorang gadis yang tak pantas untuk diabaikan. Sepasang kakiku melangkah menuju mejanya., seketika itu juga tangannya sigap memasukkan latop sainganku kedalam ranselnya dan ia pun beranjak pergi, nyaris tubuh jangkungnya menubrukku, “Maaf”katanya pendek lantas menghilang dari ruangan biru selincah rubah. Ternyata rubahpun bisa juga ceroboh, ia meninggalkan sesuatu dilantai. Sebuah Flash disk!! Seperti menemukan mutiara ditengah samudera aku ingin berlonjak girang namun ku urungkan, siapa tahu dia berbalik dan melihatku begitu girang dengan flashdisknya? Yang terburuk aku dikira pencuri atau plagiator! Kusimpan benda mungil itu di dalam kantong rok berendaku dengan hati-hati dengan sebuah senyum lebar diwajahku, misteri itu akan terkuak.
Ooo
Kusimpan hatiku dalam kotak kacamu selamanya. Kukunci dan kuncinya kubuang ke samudera yang dalam. Kunci satunya kuserahkan padamu Nadine. Cintaku. Hatiku hanya satu. Semua untukmu. Penggalan kalimat terkhir Cerpen berjudul “Kotak Hati untuk Nadine”. Tak terasa beberapa bulir air bening mengalir kepipiku. Entah perasaan haru atau sedih. Cerpen “Kotak Hati Untuk Nadine” hanya salah satu dari berbagai cerpen yang semuanya untuk Nadine didalam Flash disk “Pangeran Alamku”, Misteri telah terkuak tapi aku tak merasa bahagia olehnya. Nadine, entah sosoknya maya atau nyata ia berada diantara aku dan Pangeran Alamku. Betapa Pangeran Alamku mencintainya. Rasa cemburu membakar hatiku. Nadine kuharap kau hanya “kekasih khayalan” saja. Dia tak pernah ada. Dia tak akan pernah membalas cintamu. Aku nyata “pangeran Alam” ,andai kau serahkan hatimu padaku, kuakan mencintaimu sepenuh hatiku…sepenuh hatiku. Pikiranku bergumul akan penyangkalan dan harapan-harapan.
Harapan sekecil apapun harus dikejar bukan? Saat Pangeran Alamku muncul diruangan biru, kuangsurkan flash disk miliknya, “Milikmukan? Kutemukan terjatuh beberapa hari yang lalu waktu kau nyaris menabrakku,
“Thanks!”katanya datar wajahnya yang seperti batu pualam tak menunjukkan ekspresi berlebihan.
“Maaf, aku membaca isi file diflash disk itu.” Kataku hati-hati.
“Oh…begitu.”
“Kuharap kau tak marah.”
“Aku ingin dengar pendapatmu sebelum kuserahkan pada Nadine.”
Dadaku seperti dihantam sesuatu. Aku berusaha mencari pegangan supaya aku tidak limbung, “Kamu….baik-baik saja?” tanyanya.
“Terlalu banyak bergadang membuat darah rendahku kumat.” Dalihku, “Biasa kerjaan musisi.”dalihku.
“Kamu sudah menemukan flash diskku,bagaimana kalau kutraktir cappuccino.”tawarnya.
“Tawaran yang susah untuk ditolak disore bermandikan gerimis.”sahutku tanpa basa-basi masih penuh harap, “Karya yang indah.” Sungutku.
“Semua karena Nadine dia inspirasi terbesarku.” Pangeran Alamku tersenyum. Senyum yang begitu menawan sekaligus menyiksa karena aku bukan pemiliknya.
“Kamu telah membaca karyaku, kalau kau tak sibuk kuajak kau bertemu dengan Nadine. Dia pasti senang sekali bertemu dengan kamu. Hampir saja aku lupa, boleh aku tahu siapa namamu?”
“Laudia, panggil saja Lodi.”
“Namaku Raga.”
Ooo
Aku tidak ingin bertemu dengan Nadine karena itu akan mematahkan hatiku, mematikan harapanku. Tak ada yang dapat membendung rasa ingin tahuku. Siapa itu Nadine, begitu spesialnya dia. Secantik apakah dia? Sebaik apakah dia? Apa dia seunik diriku? Diam-diam kubuntuti Pangeran Alamku pergi. Beberapa kali tak membuahkan hasil. Hingga disuatu sore aku menemukan motornya singgah disebuah rumah besar. Aku menunggu dengan hati berdebar. Seorang anak perempuan berjalan tersaruk karena dikedua kakinya yang bengkok terpasang besi-besi penyangga, ekspresinya begitu gembira menyambut Raga walaupun bicaranya tidak begitu jelas. Raga memberinya bunga dan bingkisan, membuat mata polos gadis kecil itu berurai air mata. Raga membacakan tulisannya gadis itu menyimak dengan seksama, mata polosnya berkaca-kaca. Aku tak sanggup menyaksikan adegan dihadapanku karena aku tahu dari plang kayu didepan rumah besar itu kutahu gadis kecil tak berdaya itu sebatang kara.
“Lodi…Ngapain kamu disini?”
“Aku…membuntutimu…Ma…Maafkan..aku.”
“Kamu menangis…”
Gadis kecil itu tertatih mendekatiku,dengan tangannya yang tak sempurna lembut dia menyentuh pipiku yang basah berkata dengan lirih,”Ka ka…ja..gan…se…ich.”katanya susah payah. Kepala-kepala mungil dan mata-mata polos haus cinta bermunculan menonton kami membuat hatiku teriris oleh rasa haru.
“Lodi, ini Nadine yang kuceritakan. Ia penderita multi cacat bawaan. Dia dibuang ibunya sejak bayi di Panti Asuhan ini. Mengunjunginya, membuatku bersyukur apa yang kumiliki. Nadine dengan segala keterbatasannya, masih dapat memandang dunia ini dengan ceria.”
Aku tertawa dalam hati, mentertawakan diriku sendiri yang dibutakan cemburu. Nadine memang pencuri hati, dia sumber inspirasi begitu pula anak-anak lainnya di Panti asuhan itu. Aku langsung memainkan gitarku menyanyi sepenuh hatiku.
Tawamu seindah matahari pagi
Menarilah bersamaku
Dibawah langit biru
Kau mutiara hatiku
Aku menoleh pada Pangeran Alamku, ia memandangku dengan mata murungnya yang indah, begitu lekat, begitu dalam. Kerongkonganku tercekat. Harapanku membuncah. Anganku mengalunkan melodi jiwaku merangkai kata-kata. Pangean Alam…Pangeran Alam…kuingin tenggelam dalam bening sepasang mata airmu yang tenang…terhanyut disungai-sungai pengharapan…dan ingin kejelajahi samudera hatimu.
Tamat
Cerpen ini di muat di Majalah Kawanku edisi 64 tahun 2010 yang Covernya Justine Beiber.

4 komentar:

  1. wuih, keren abis mbak, tidak pasaran, unik! aku mau dong seterampil itu menulis cerpen, ajarin aku mbak bikin cerita - cerita dengan ide - ide yang unik ya...?

    BalasHapus
  2. Ma kasih, ide cerpenku ini biasa tapi cara penceritaannya kubikin berbeda. blog yg ini personal, kalo blog tentang "duniaku yg lain" xixi...you can check it : http://cerpenmisfah.wordpress.com/

    BalasHapus

Terima kasih buat teman-teman yang sudah berkomentar