Selasa, 31 Maret 2015

CERPEN : HANABASHI by Misfah Khairina

Cerpen : HANABASHI by Misfah Khairina

“Kau layani dulu pembeli. Ibu mau tengok Kayla dulu.” Kata Nadia pada Asih, bergegas ke ruang sebelah dimana ia tinggal.Bayi mungilnya sedang menagih ASI. Dari jendela kamar Kayla, Nadia melihat sepasang manusia keluar dari dalam mobil. Yang laki-laki terlihat rapi dengan stelan kemeja bergaris dan celana konduroy coklat tuanya. Tangannya menenteng smartphone keluaran terbaru. Sementara yang wanita kelihatan fashionable mengenakan minidress berbunga-bunga kecil dengan warna pastel dengan bolero berwarna khaki. Tangan kirinya menenteng tote bag berwarna senada dengan boleronya, sementara tangan kanannnya bergelayut manja di lengan si lelaki.

Asih, pegawai baru itu akan melayani mereka. Sudah beberapa hari Asih bekerja di toko bunga milik Nadia. Selama itu dia menunjukkan kinerja yang bagus. Cekatan dan ramah. Nadia merasa sangat terbantu, disaat-saat ia masih memberikan ASI eksklusif pada Kayla.
“Bu…Bu Nadia…rangkaian bunga kering di dinding itu dijual?” Asih tergopoh-gopoh menghampiri Nadia.
“Yang mana? Tunggu sebentar!”
Nadia hati-hati meletakkan Kayla yang sudah tertidur pulas ke dalam boxnya.
“Hanabashi itu dijual kecuali yang paling besar itu tidak dijual. Maaf milik pribadi.” Kata nadia pada sepasang muda-mudi yang sudah membeli mawar segar, nampaknya mereka berminat pada rangkaian bunga kering yang ditata indah dan dibingkai dikenal sebagai hanabashi. Nadia memepelajari merangkai bunga itu saat ia sekolah di Jepang.

“Tapi aku mau yang itu!” rajuk si wanita pada laki-laki disampingnya pada sembari menunjuk pada rangkaian hanabashi berukuran besar yang dipenuhi kelopak kering mawar merah dirangkai seperti buket pengantin.
“Please saya bayar, berapapun harganya.” Ujar laki-laki itu berpaling pada Nadia.
“Arman!” hati Nadia menejerit . Wajah lelaki itu sekilas menunjukkan keterkejutan.
“Maaf kami tidak menjual yang itu. Koleksi pribadi, berapapun anda sanggup membayarnya. Ulang nadia mendadak merasa tak nyaman di toko bunganya sendiri. Entah apa sebabnya.
“kalau tidak dijual kenapa dipajang?” dumal si wanita.
“Sudahlah Karin. Yang itu juga bagus, apa yang itu , kamu suka kucing kan?”
“Tapi aku maunya yang itu!”
“Ngga boleh sama yang jual, sayang. Bagaimana kalau yang ini saja, sebagai tanda maafku., please?”Arman memohon dengan tatapan selembut kelinci. 21 mawar kuncup ditangannya.
“Sebagai tanda maafku.”
“Baiklah”. Ujar wanita bernama Karin seraya mendengus halus, mereka berpelukan. Nadia membuang pandang. Dadanya terasa sesak, sementara matanya terasa memanas. Arman mengeluarkan kartu kreditnya dan membayar semua bunga-bunga yang ia hadiahkan pada Karin.

Saat Nadia mengembalikan kartu kredit Arman, tak sengaja pandangan mereka beradu, “Nad, senang bertemu denganmu kembali.” Kata Arman dengan senyum kecil disudut bibirnya. Nadia tidak tahu harus berkata apa dengan peretemuan tak disangka-sangka itu.
Setelah kepergian Armand dan Karin. Nadia masih terduduk lemas dengan mata menatap hanabashi terindah di dinding toko bunga itu. Rangkaian buket pengantin hanabashi itu istimewa pun penuh kenangan. Kenangan akan cintanya pada seseorang. Seseorang yang mengisi hatinya 7 tahun yang lalu.
Pikiran Nadia mengembara ke masa silam saat ia masih jadi wanita terkasih lelaki bernama Arman. Ia teringat hari itu mereka menikmati makan malam yang romantic di restaurant Perancis sebelum keberangkatannya ke Jepang, “Arman, sebentar lagi aku ke Jepang..menurutmu gimana kalau kita tunangan dulu?”
Wajah Arman menunjukkan keterkejutan, seakan-akan ia menelan sesuatu yang aneh dikerongkongannya, sehingga ia harus membasahinya dengan menenguk air putih itu dua kali.
“Tunangan? …ada apa ini Nadia? Ngga cukupkah kita saling mencintai?”
“Man kita sudah pacaran 3 tahun. Aku ingin kepastiansebelum keberangkatanku ke Jepang. Sebuah perjalanan pasti ada akhirnya bukan?”
“Nad,…sorry…terus terang aku belum siap. Aku masih punya banyak mimpi. Banyak keinginan yang belum kucapai. Aku ingin menuntaskan S2ku dan mengembangkan usaha yang diwariskan ayahku. Tunangan…nikah…bukan prioritasku saat ini. It…is not the right time…honey. Maafkan aku jika aku mengecewakanmu.”
Begitulah Arman, walaupun sudah tiga tahun mereka bersama, Nadia belum bisa memahami siapa sesungguhnya kekasihnya itu. Hingga ia sekolah ke Jepang, beberapa kali mereka putus sambung. Sampai disuatu titik Nadia merasa terlalu lelah untuk menunggu. Seorang lelaki Indonesia yang dikenalnya di Jepang mendekatinya. Disaat hatinya bimbang dan bingung dengan jalinan kasihnya dengan Arman yang tak berujung, Rio menunjukkan keseriusannya. Rio datang dengan keluarganya meminang Nadia menjadi istrinya. Nadia pasrah dengan takdirnya. Lamaran Rio, suatu tanda dari Tuhan untuknya. Nadia memutuskan menerima pinangan itu.

Nadia mengundang Arman di resepsi pernikahannya. Tapi Arman tidak datang. Sehari sebelum hari H, Arman mengirimkan buket mawar dan ucapan selamat. Nadia melepas kelopak demi kelopak buket mawar itu satu persatu, dikeringkan, ditata dan disusun kembali menjadi hanabashi yang indah.
                                                                      ooo

“Arman!” Nadia terkesiap melihat kemunculan Arman untuk kedua kalinya di toko bunganya. Kali ini ia datang sendiri.
“Nadia….Nadia….” Arman tertawa canggung, “Aku masih tak percaya kita bertemu lagi. Gosh! It’s been long time! Maaf aku ngga bias datang ke resepsi pernikahanmu. Waktu itu aku masih menata hatiku yang berantakan. Aku masih shock dengan keputusanmu. Hey…tapi buket bungaku sampaikan?”
Nadia mengangguk seraya melirik Hanabashi buket mawar yang tergantung cantik di dinding tokonya.
“Terima kasih atas buket indahnya. Maaf baru kali aku bisa mengatakannya.”
“Saat kau tinggalkan aku, aku baru sadar, aku telah melepaskan sesuatu yang begitu berharga dalam hidupku. Kamu! Tapi semuanya sudah terjadi. Aku sudah meliwatinya, walau berat!” Arman menghela nafas dalam,” Aku hanya ingin menyerahkan ini padamu. Ku harap kau datang.” Ujarnya seraya menyerahkan sebuah undangan pernikahan. Pernikahan Armand dan Karin.
Sepeninggal Arman , Nadia menurunkan Hanabashi istimewa itu dari dinding. Membersihkan dengan hati-hati.
“Sih, tolong bungkuskan ini.”
“Ini kan tidak di jual, Bu?”
“Aku tidak menjualnya, aku akan memberikannya.”
“Tapi Bu?”
“Sudah saatnya aku melepaskannya dengan ikhlas.” Kata Nadia sembari tersenyum penuh arti.
                                                                       ooo
Sehari sebelum hari pernikahannya, dimalam midodareni, Karin dikejutkan dengan sebuah bungkusan di kamarnya. Perlahan-lahan dibukanya bungkusan persegi empat panjang itu. Sahabat-sahabatnya juga penasaran apa isi bungkusan itu. Karin menjerit girang, saat menegtahui isi bungkusan itu, “Hanabashi idamannya!”
Dengan perasaan bahagia membuncah Karin serta merta menilpon Arman, “Honey…ma kasih ya hanabashi….indah sekali. Pemilik toko itu bilang dia tidak akan menjual hanabashi itu, tapi kamu hebat bisa mendapatkannya untukku. Thanks ya…it means so much to me.” Suara Karin bergetar.
“Karin…wait….hanabashi. “
“Udah dulu ya Hun! I miss you…muach!”
Arman terlongong dengan hp yang belum dimatikan. Ia masih bingung dengan kata-kata Karin barusan, bukannya ia memberi Karin bingkisan Jam tangan Cartier di malam midodareni, lantas apa tadi Karin bilang Hanabashi?
Ke esokan harinya,Nadia melirik dinding kosong di tokonya. Sudah saatnya ia melepaskan semua kenang-kenangan Arman dari hidupnya. Hatinya sekarang seperti dinding kosong itu, siap untuk di isi dan ia tahu pasti dan yakin siapa yang mengisi dinding kosong itu, tatapan cinta Rio merangkulnya, “Sudah siap, Nyonya Rio wicaksono.?”
Nadia mengangguk, keduanya bergandengan tangan siap pergi ke resepsi pernikahan Armand dan Karin.
                                                                                                    Tamat             

3 komentar:

Terima kasih buat teman-teman yang sudah berkomentar